Divisi.id — Dugaan pemalsuan surat tanah yang menyeret rumah keluarga di Jalan Ks. Tubun, Gg. Kurnia, Samarinda, menimbulkan tanda tanya besar terkait proses perbankan dan lambannya penegakan hukum. Rumah milik keluarga Paulus Jo atau di kenal Rus BITH diduga digadaikan menggunakan surat tanah palsu oleh seorang perempuan bernama Veronika Hurai untuk mendapatkan pinjaman Rp100 juta dari bank Mandiri cabang Loa Janan pada 2024, tanpa sepengetahuan pemilik sah.
Kasus ini baru terungkap awal 2025 dan hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan, meski polisi telah menyimpulkan dokumen yang digunakan merupakan surat palsu.
Pemilik rumah Paulus (Rus BITH), mengungkapkan kejanggalan utama justru terletak pada proses persetujuan kredit oleh pihak bank. Ia mempertanyakan bagaimana pinjaman bisa dicairkan, sementara sertifikat asli rumah masih dipegang pemilik sah.
“Yang jadi pertanyaan kami, kenapa bank bisa menyetujui pinjaman Rp100 juta itu. Padahal sertifikat asli rumah ada di tangan pemilik, lalu dibuat lagi surat tanah palsu untuk menindih sertifikat tersebut,” kata Rus, saat dikonfimasi via telpon, Senin (15/12/2025).
Rus menjelaskan, pemalsuan tersebut dilakukan dengan membuat surat tanah palsu yang seolah-olah sah, lengkap dengan tanda tangan RT, lurah, hingga camat.
Namun, saat dipanggil penyidik, seluruh pihak yang tercantum dalam dokumen tersebut menyatakan tidak pernah menandatangani surat dimaksud.
“Semua yang namanya ada di surat itu sudah dipanggil polisi dan mereka bilang tidak pernah tanda tangan. Kesimpulan penyidik juga jelas, itu surat palsu,” ujarnya.
Meski telah dilaporkan ke Polres Samarinda sejak Februari 2025, Rus menilai proses hukum berjalan terlalu lambat. Ia menyebut pelaku pemalsuan hingga kini masih bebas berkeliaran.
“Sudah jelas suratnya palsu, tapi kenapa prosesnya lama sekali? Orang yang memalsukan dan menggadaikan rumah itu masih santai di luar. Ini yang kami pertanyakan,” tegasnya.
Selain itu, keluarga juga menyoroti sikap pihak bank yang dinilai tidak berpihak pada korban. Menurut Rus, keluarga justru diminta mempertimbangkan dampak jika pelaku dipenjara karena dikhawatirkan tidak ada yang membayar angsuran.
“Pihak bank bilang, kalau pelakunya dipenjara nanti siapa yang bayar angsuran. Saya bilang, itu bukan urusan kami. Ini kan pinjaman pakai dokumen palsu,” ungkapnya.
Kasus ini juga menyeret seorang mahasiswi bernama Nia, yang namanya digunakan tanpa sepengetahuannya. Nia disebut hanya mengikuti arahan Veronika saat diminta menandatangani pembukaan rekening, sementara seluruh proses kredit diurus oleh pelaku.
“Nia ini korban. Namanya dipakai, tanda tangannya dipalsukan, dan dia hanya disuruh ikut tanda tangan di akhir. Semua bukti transfer Rp100 juta itu ada,” jelas Rus.
Atas kondisi tersebut, keluarga berharap aparat penegak hukum segera bertindak tegas dan transparan. Rus menilai kasus ini bukan sekadar persoalan keluarga, melainkan kejahatan publik yang berpotensi menimpa warga lain.
“Kami minta ini diproses sesuai hukum. Kalau kasus seperti ini dibiarkan, jangan-jangan masih banyak kejadian serupa yang tidak terungkap,” pungkasnya.