
Divisi.id – Upaya memperkuat perlindungan lingkungan di Kalimantan Timur memasuki babak baru setelah DPRD Kaltim merampungkan laporan akhir Raperda Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Regulasi tersebut disusun untuk menjawab krisis ekologis yang semakin mengkhawatirkan.
Ketua Pansus Lingkungan DPRD Kaltim, Guntur, menyampaikan bahwa penyusunan Raperda tersebut didorong oleh fakta lapangan yang menunjukkan meningkatnya pencemaran air, udara, serta kerusakan lahan kritis yang tidak lagi dapat diatasi dengan peraturan daerah lama.
“Laju kerusakan lingkungan hidup di Kaltim berjalan cepat. Perda ini harus menjadi perangkat untuk menghentikan kerusakan dan mengendalikan pencemaran secara komprehensif,” tegasnya.
Guntur menjelaskan bahwa Perda Nomor 1 Tahun 2014 dan Perda Nomor 2 Tahun 2011 sudah tidak mampu menghadapi tantangan ekologis saat ini. Kerusakan sungai yang terpapar limbah tambang, meningkatnya debu batu bara di permukiman, serta maraknya pembakaran lahan di hulu menjadi bukti bahwa pembaruan regulasi wajib dilakukan.
Menurutnya, kebutuhan perubahan ini juga dipicu oleh regulasi nasional yang menuntut penyesuaian, sehingga daerah tidak bisa mengandalkan aturan lama yang sudah tertinggal dari perkembangan hukum lingkungan.
“Banyak keluhan dari masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata. Perda lama tidak lagi sanggup menjawab kompleksitas masalah sekarang,” ujarnya.
Ia merinci bahwa selama empat bulan masa kerja Pansus, tim telah melakukan beragam kegiatan, mulai dari rapat internal, dialog dengan DLH dan Biro Hukum, konsultasi ke KLHK dan Kemendagri, hingga pertemuan dengan pelaku industri. Uji petik lapangan di sejumlah daerah turut memberikan gambaran faktual terkait kondisi lingkungan.
Guntur menegaskan bahwa kunjungan ke Paser, Kukar, Kutim, dan Bontang memberikan banyak temuan penting yang kemudian dimasukkan ke dalam draf regulasi, terutama terkait pengawasan, pengendalian pencemaran, dan peran masyarakat.
“Hasil pembahasan ini kami lakukan dengan mempertimbangkan kondisi lapangan yang kami tinjau langsung. Kami ingin Perda ini bukan sekadar normatif, tetapi solutif,” tambahnya.
Perubahan paling signifikan dalam draf Raperda adalah pengembangan struktur pasal yang kini mencapai 145 pasal dari sebelumnya hanya 50 pasal. Penambahan ini dilakukan demi memperjelas batas kewenangan, prosedur pengawasan, hingga penegakan sanksi bagi pelaku perusakan lingkungan.
“Dari awal hanya 50 pasal, sekarang menjadi 145 pasal. Ini karena banyak aspek yang memang harus diperjelas. Kita tidak ingin ada kekosongan norma,” jelasnya.
Guntur mengungkapkan bahwa penambahan substansi tersebut merupakan respons atas banyaknya kasus pencemaran yang tidak dapat diproses secara hukum karena kurangnya aturan teknis. Perda baru diharapkan memberikan kepastian hukum bagi aparat dalam melakukan penindakan.
“Ada kasus air sungai tercemar tapi tidak ada pengaturan detail soal penegakan di lapangan, sehingga sulit menjerat. Itulah kenapa banyak pasal harus kami tambah,” ujarnya.
Selain itu, kerusakan lingkungan di wilayah pedalaman yang semakin parah menjadi alasan lain perluasan muatan dalam Perda, termasuk perlindungan terhadap praktik berladang masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan dari regulasi daerah.
“Ini yang membuat kami memasukkan muatan lokal. Karena permasalahannya nyata dan harus dijawab dalam Perda,” tegas Guntur.
Ia menjelaskan bahwa proses konsultasi teknis terakhir telah dilakukan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kemendagri. Meski belum ada jawaban resmi, substansi Raperda diyakini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Secara substansi sudah aman,” ujarnya.
Guntur juga menegaskan bahwa setelah masa kerja Pansus berakhir pada 21 November, tindak lanjut sepenuhnya berada di tangan pimpinan DPRD untuk meneruskan proses fasilitasi hingga tahap pengesahan Perda.
“Kalau ini sudah selesai, nanti pimpinan menyerahkan untuk fasilitasi lewat Bappeda. Setelah diterima, kalau memang ada perbaikan sedikit, kita baiki. Kalau tidak, Bappeda yang menyampaikan kepada pimpinan untuk disahkan,” jelasnya.
Selain itu, Guntur memastikan bahwa aspek muatan lokal, terutama terkait pola berladang masyarakat adat di hulu, dimasukkan sebagai salah satu poin penting agar Perda tidak mengabaikan kearifan lokal yang masih dijalankan hingga sekarang.
“Masyarakat kita di hulu itu kan berladang. Nah, mereka kan tidak boleh membakar. Tapi sesuai UU Cipta Kerja ada pengecualian, boleh membakar tapi dijaga biar tidak melebar kemana-mana,” kata Guntur.
Terpisah, Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud menegaskan bahwa laporan akhir Pansus Lingkungan dan Pansus Pendidikan telah diterima dan dinyatakan selesai, sehingga tahap berikutnya tinggal menunggu verifikasi Kemendagri sebelum masuk ke Paripurna tingkat II.
“Jadi dinyatakan sudah selesai, tinggal fasilitasi ke Kemendagri. Kalau Kemendagri dianggap itu sudah sesuai, maka kita akan jadikan dari Ranperda menjadi Perda,” pungkasnya.