
Divisi.id – Persoalan Sungai Mateng kembali mencuat setelah muncul usulan agar daerah mengambil alih pengelolaan alur sungai untuk kepentingan masyarakat. DPRD Kaltim menegaskan bahwa penutupan atau pembukaan alur sungai tidak bisa dilakukan sepihak karena sungai tersebut berstatus aset nasional.
Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menegaskan bahwa daerah tidak memiliki kewenangan langsung terkait pengelolaan sungai-sungai besar seperti Mahakam dan Mateng. Menurutnya, koordinasi dengan pemerintah pusat menjadi syarat mutlak sebelum kebijakan apa pun dapat diambil.
“Sungai itu aset nasional, tidak bisa kita tutup begitu saja,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa jika daerah ingin mengatur alur sungai atau menutup akses tertentu demi keselamatan masyarakat, proses tersebut harus melalui jalur resmi yang panjang. Pemerintah daerah harus mengajukan permohonan, memastikan kajian keselamatan, dan berkoordinasi dengan kementerian terkait.
“Kalau mau dikelola daerah, prosesnya panjang dan tidak bisa langsung,” katanya.
Ia juga menyoroti isu pengurukan Sungai Mahakam yang selama ini hanya dilakukan di area hilir. Menurutnya, pola pengerukan yang tidak menyeluruh justru membuat masalah banjir tidak terselesaikan karena endapan sedimentasi terus bergerak dari hulu menuju hilir.
“Percuma dikeruk di hilir kalau hulunya tidak diperhatikan,” ujar Hamas, nama sapaannya.
Hamas menegaskan bahwa Sungai Mahakam merupakan sistem yang terhubung dari hulu hingga hilir. Jika hanya satu bagian yang mendapat perhatian, maka perbaikan tidak akan maksimal. Bahkan, banjir dapat terus terjadi karena sedimentasi di hulu tetap mengalir ke bawah.
“Mahakam itu harus dilihat utuh, dari hulu ke hilir,” jelasnya.
Hamas mengingatkan bahwa beberapa penampungan air peninggalan Belanda yang dulunya menjadi penyangga banjir kini sudah dangkal dan tidak berfungsi optimal. Situasi ini memperburuk kondisi sungai karena air tidak memiliki ruang retensi yang cukup saat curah hujan tinggi.
“Tempat-tempat tampungan air zaman Belanda itu sudah dangkal semua,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah perlu menghidupkan kembali fungsi-fungsi penahan air tersebut atau membangun sistem retensi baru untuk mengurangi tekanan terhadap Mahakam. Dengan begitu, debit air bisa dikendalikan sebelum mengalir ke sungai utama.
“Kalau itu tidak dibenahi, Mahakam akan tetap kewalahan menampung air,” tambahnya.
Ia juga menyebut bahwa banjir di beberapa daerah pesisir sungai bukan hanya akibat curah hujan, tetapi juga dampak dari kebijakan yang tidak menyeluruh. Penanganan banjir harus bersifat sistemik, bukan hanya intervensi kecil di beberapa titik.
“Ini bukan masalah satu lokasi, ini masalah sistem,” tegasnya.
Hamas meminta pemerintah daerah lebih proaktif bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk merumuskan solusi jangka panjang. Ia menilai bahwa perbaikan sistem sungai memerlukan perencanaan besar yang tidak bisa dilakukan hanya dengan anggaran daerah.
“Kita harus dorong pusat untuk ikut terlibat penuh,” katanya.
Ia juga mengajak masyarakat memahami bahwa pengelolaan sungai bukan persoalan sederhana. Dibutuhkan kajian teknis, izin nasional, dan perhitungan keselamatan sebelum langkah apa pun bisa diambil agar tidak menimbulkan risiko baru.
“Ini urusan teknis dan kewenangan, tidak bisa asal ambil keputusan,” ujarnya.
Hamas menutup penjelasannya dengan menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pemerintah agar Sungai Mahakam dan Sungai Mateng dapat menjadi alur air yang aman, produktif, dan berfungsi sesuai tujuan. Tanpa koordinasi terpadu, perbaikan hanya akan berjalan setengah-setengah.
“Kita ingin sungai yang aman dan bisa dimanfaatkan, tapi harus dengan cara yang benar,” pungkasnya.