
Divisi.id – Kebutuhan penyesuaian jurusan pendidikan dengan peluang kerja kembali mencuat sebagai isu penting dalam rapat pembahasan program pendidikan di Kalimantan Timur. DPRD Kaltim menilai pemerintah harus melakukan identifikasi serius terhadap kebutuhan lapangan kerja untuk menghindari ledakan pengangguran lulusan sarjana.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Agusriansyah Ridwan, menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan mahasiswa menempuh pendidikan tanpa arah. Ia menyebut bahwa banyak jurusan tidak relevan dengan kebutuhan pasar, sehingga lulusan kesulitan memperoleh pekerjaan.
“Jangan kita menghasilkan S1 yang pengangguran,” ujarnya mengingatkan.
Agusriansyah menilai bahwa kebijakan pendidikan Kaltim harus menyesuaikan peluang kerja lima hingga sepuluh tahun ke depan, terutama menghadapi perkembangan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan pertumbuhan sektor industri. Pendidikan tinggi harus menjadi pintu bagi generasi muda memasuki dunia kerja, bukan sekadar memperoleh gelar akademik.
“Kita harus memikirkan jurusan apa yang nanti yang dibutuhkan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah harus mulai menyusun peta kebutuhan tenaga kerja secara komprehensif, baik dari sektor industri, kesehatan, teknologi, hingga sektor informal. Pemetaan ini akan membantu menentukan prioritas penerima beasiswa maupun bantuan pendidikan.
“Ini tanggung jawab kita untuk mempersiapkan anak-anak kita masuk dunia kerja,” ujarnya.
Selain soal jurusan, Agusriansyah menyoroti pentingnya keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) yang mampu menjembatani lulusan pendidikan dengan keterampilan praktis. Ia menegaskan bahwa BLK dapat dikelola oleh pemerintah, perusahaan, maupun pihak swasta selama memiliki dasar hukum yang jelas.
“BLK itu bisa dibentuk oleh pemerintah, bisa juga oleh perusahaan, bisa juga swasta,” jelasnya.
Menurutnya, BLK yang dikelola swasta atau perusahaan harus mempunyai memorandum of understanding (MoU) yang kuat dengan pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja agar proses pelatihan berjalan sesuai standar, terpantau, dan berdampak langsung pada peluang kerja.
“Tapi itu harus jelas MoU-nya dan kerja sama dengan Disnaker,” tegas Agusriansyah.
Ia menilai BLK dengan sistem kurikulum industri memiliki peluang besar menyerap tenaga kerja muda karena materi pelatihan disesuaikan langsung dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini bisa menjadi solusi cepat untuk mengurangi pengangguran di kalangan pemuda.
“Nah kalau itu jelas, anak-anak bisa langsung terserap kerja,” katanya.
Agusriansyah menegaskan bahwa pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan harus diperkuat sebagai bagian dari strategi menghadapi gelombang usia produktif yang memasuki pasar kerja. Ia menyebut pemerintah tidak boleh hanya fokus pada bantuan biaya pendidikan, tetapi juga harus memperhatikan kesiapan lulusannya.
“Bantuan boleh, tapi orientasi akhirnya harus kerja,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar perguruan tinggi dan pemerintah melakukan kerja sama strategis dengan dunia usaha untuk membuka peluang magang, sertifikasi kompetensi, dan penyaluran tenaga kerja. Menurutnya, hubungan dengan industri sangat menentukan efektivitas pendidikan.
“Harus ada link and match dengan perusahaan,” tambahnya.
Agusriansyah menutup pernyataannya dengan menegaskan pentingnya perencanaan jangka panjang agar tidak ada lagi lulusan yang kehilangan arah setelah menyelesaikan pendidikan. Ia meminta pemerintah bergerak cepat untuk menyusun formulasi kebijakan yang lebih terpadu.
“Kita harus menyiapkan SDM yang siap kerja, bukan hanya siap kuliah,” pungkasnya.